Ditengah euforia tahun baru, negara - negara ASEAN akan memulai persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan mulai berlaku besok, 1 Januari 2016. Hal ini jelas akan menjadi tantangan baru bagi masyarakat ASEAN, terutama Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang belum paham apa itu MEA, serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh pasar yang terintegrasi tersebut.
"Sebagus-bagusnya alasan tidak mengubah keadaan. Buang semua alasan, nggak punya modal lah, tunggu uluran tangan pemerintah lah, cari partner lah. Saatnya action!” ucap Subiakto yang kami kutip dari status facebooknya.
Subiakto dikenal sebagai orang iklan kawakan. Dia pendiri dan CEO biro iklan Hotline. Dalam konteks iklan politik pun dikenal sebagai pionir. Dia menangani branding untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla di tahun 2004. Dalam bio profil Twitter-nya dia menulis, berpengalaman 45 tahun brand building, hitungan mundur MEA 2015, serta pendiri RumahUKM.
Di negara seperti Vietnam, Thailand, Singapura, terasa betul gairah memasuki MEA 2015. Tentu saja ada kritik pedas mengenai besarnya biaya iklan media yang dikeluarkan pemerintah Thailand untuk memasarkan MEA 2015, dibandingkan dengan kesadaran masyarakat akan apa dampaknya bagi mereka, bagi pengusaha, bagi UKM, dan juga bagi konsumen.
Seharusnya masyarakat Indonesia dapat lebih menyadari menyiapkan diri untuk menghadapi daya saing perusahaan di pasar MEA ini.
Lalu, apa saja sebenarnya yang harus diketahui oleh kita mengenai MEA 2015?
1. Menurut Roadmap for ASEAN Community 2009-2015, “ASEAN Economic Community (MEA), akan menjadikan ASEAN sebagai sebuah pasar yang bersatu, dan menjadi basis produksi di kawasan ini. MEA akan menjadikan ASEAN lebih dinamis dan kompetitif, dengan mekanisme baru dan parameter yang terukur untuk memperkuat implementasi dari inisiatif ekonomi yang sudah ada, mempercepat integrasi dalam sejumlah sektor prioritas, memfasilitasi pergerakan kalangan pebisnis, tenaga kerja terdidik dan memperkuat mekanisme kelembagaan di ASEAN”. MEA adalah pasar bagi 630 juta penduduk di kawasan ini, atau dapat dikatakan sebagai pasar nomor 4 terbesar di dunia.
2. Mutual Recognition Arrangement (MRA) adalah kesepakatan di antara negara anggota ASEAN, yakni Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar untuk membuka pergerakan tenaga kerja terdidiknya. Saat ini sudah disepakati delapan sektor yang akan dibuka, yakni jasa keinsinyuran (engineering), jasa keperawatan (nursing), arsitektur, surveyor, praktik gigi, akuntansi, jasa pariwisata, serta praktik kedokteran termasuk dokter.
3. Menurut riset ASEAN, MEA akan menciptakan 14 juta lapangan pekerjaan baru, dan menurunkan ongkos produksi 10-20%. Ini bagi mereka yang mampu memanfaatkan peluang. Ini hanya tentang siapa bakal memenangi persaingan, dan siapa yang kalah.
4. Akan terjadi perebutan investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) di kawasan ini. Riset menunjukkan semakin terintegrasi ekonomi sebuah negara dengan ekonomi global, kian besar manfaat bagi FDI, maka negara twrsebut tidak memerlukan keberadaan sumber daya alam lain lagi. Singapura pun memenangi perebutan FDI di kawasan ASEAN, dengan presentasi 50,8%, kemudian disusul oleh Indonesia sebesar 18%, Thailand 9,7%, Malaysia 8.5%, Vietnam 7.6%, Filipina 2.5%, Kamboja 1.4%, Myanmar 1%, Laos 0.3% dang yang terkecil adalah Brunei Darussalam yaitu 0.00%.
5. Sebagaimana untuk sektor bisnis, MEA akan membuka peluang, sekaligus ancaman bagi sektor usaha kecil dan menengah di kawasan ini. Peluang datang dari pasar yang membesar, dan kesempatan kolaborasi dalam proses rantai pasokan, melibatkan lebih dari satu negara sebagai basis produksi untuk mendapatkan efisiensi tenaga kerja dan logistik. Ancaman akan datang jika UKM tidak siap dan pemerintah gagal mendukung dengan regulasi.
Direktur Pusat Riset UKM Universitas Trisakti Tulus H. Tambunan menulis bahwa UKM menjadi kunci penyedia lapangan kerja di semua negara ASEAN. Di Indonesia kontribusinya 97,2%, di Vietnam 51,7% dan di Filipina 61%.
Kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto di Indonesia mencapai 58%. Nilai kontribusi paling rendah berada di Brunei Darussalam dengan 23%, Malaysia 36%, Filipina 37%, Thailand 40%, dan Singapura 45%.
Namun, pada sisi ekspor, Indonesia belumlah memperoleh nilai yang menggembirakan. Untuk Indonesia, kontribusi UKM terhadap total ekspor (di luar minyak dan gas), adalah sekitar 16,4%, sedangkan Malaysia 19,4%, Filipina 10%, Thailand 29,9%, dan Vietnam 20%.
Lalu, apa saja yang harus dipersiapkannoleh warga Indonesia? Di semua lini, baik di sektor jasa maupun barang, usaha besar maupun UKM, kesiapan tenaga kerja dan kualitas produk menjadi kunci untuk memenangi persaingan. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan bahwa untuk sektor middle-low, yang akan kena imbas MEA 2015 adalah sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Menurut Hanif, untuk menghadapi MEA, Indonesia perlu menyiapkan diri untuk menjalankan 3 hal. Pertama, percepatan peningkatan kompetensi dan daya saing, kedua percepatan sertifikasi profesi tenaga kerja, dan yang ketiga, pengendalian tenaga kerja asing.
Soal penguasaan bahasa adalah salah satu kompetensi yang menjadi masalah. Sama dengan rencana di Indonesia, di Thailand sempat ada rencana menerapkan keharusan menguasai bahasa lokal bagi tenaga kerja asing. Namun aturan ini ditunda terlebih dahulu, karena dikhawatirkan akan menimbulkan aturan resiprokal.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga berjanji pemerintah akan mendukung kesiapan UKM dengan memudahkan proses izin usaha, yang dianggap penting dalam membuka akses bagi pembiayaan dari bank. Bank Dunia juga mengingatkan pentingnya pemerintah Indonesia menyiapkan UKM dengan kapasitas sumber daya manusia, kualitas produk, dan memperkuat permodalan.
Tantangan MEA 2015 bagi UKM adalah akses ke pembiayaan, akses ke pasar domestik dan negara anggota lain, akses ke penguasaan teknologi dan kemampuan inovasi, pembangunan infrastruktur yang baik sehingga meningkatkan konektivitas, keamanan dalam melakukan bisnis dan investasi, investasi dalam sumber daya manusia, dan kerangka hukum dan regulasi yang memadai.
Dukungan pemerintah penting. Tetapi tidak semua area dikuasai pemerintah. Misalnya, soal branding tadi. Bahkan Indonesia sebagai sebuah negara pun perlu branding yang kuat.
Untuk itu, disinilah dibutuhkan peran praktisi - praktisi ekonomi untuk membantu pemerintah. Terutama pada UKM yang masih belum melek digital. -Admin A-
0 Komentar untuk "MEA 2015"